Gila, file ilang, mudik 5 hari, argh, pokoknya susah, deh! Gak sempet bikin ilustrasinya (jadi menyusul) tapi silahkan enjoy chapter 3!
Defrosted Chapter 3 : Apa yang Terjadi pada Klan Musim
Dingin?
Sennia berlari mengikuti aura aneh yang menariknya. Dia lupa
membawa jubahnya, lupa menggunakan sepatu salju, dan dia juga lupa membawa
lentera. Berkali-kali, ia terperosok salju, menjatuhkan benda bersinar dari
sakunya tanpa sengaja.
Dia akhirnya menemukan Demor, berdiri di depan gadis es yang
menangis keras. Dia bahkan tidak mau repot untuk sekedar menenangkan gadis itu.
Hanya berdiri dengan wajahnya yang (menurut Sennia) dingin itu!
“Demoooor!! Kau bodoh atau apa?!!” teriak Sennia, mendorong
keras punggung Demor. “Kamu apain dia?!”
Demor menarik nafas panjang, “Memberitahunya kenyataan. Dia
dari klan musim dingin yang Ketua bicarakan beberapa musim lalu. Belasan
elemental es yang diculik dari perkemahannya? Kau ingat?”
Sennia tentu saja mengingatnya. Beberapa musim lalu,
tepatnya musim gugur tahun lalu dimana elemental es baru saja bersiap
mendapatkan kekuatannya kembali, makhluk berderak yang memiliki mata merah
menyala menangkap mereka hidup-hidup. Entah kemana. Puluhan klan elemental
diculik dengan cara yang sama.
Hanya tersisa beberapa klan elemental, dan mereka berkumpul
di tempat yang jauh untuk balas dendam. Gossip mengatakan balas dendam, namun
sepertinya kata paling tepat adalah bersembunyi dan bertahan hidup. Mereka
sudah seakan punah. Atau mereka sudah menyatu dengan kelompok pengelana dan
klan lain?
Sennia tidak tahu. Sennia seharusnya tahu, tapi dia masih terlalu muda untuk terlibat urusan
Elemental sungguhan. Ayahnya pergi dan menitipkannya pada klan pengelana musim
semi. Lalu, menghilang dalam urusan Elemental.
Gadis ini mungkin memang elemental. Auranya yang terasa
berbeda, suara tangisannya yang menggetarkan udara, dan rambutnya yang berwarna
abnormal itu menunjukkan bahwa dia seorang elemental. Tapi klan itu? Klan itu
tidak tersisa sama sekali! Jika gadis itu tahu, mungkin dia akan mengamuk...
Sennia berusaha menggilangkan bayangan kematian dari kepala
gadis itu, “Mungkin enggak, kan?! Ada puluhan klan musim dingin di daerah
pegunungan seperti ini!”
“Hanya satu klan elemental
es yang ada di dunia,” nada Demor masih datar. “Kau pernah tahu kalau
elemental membuat dirinya mati sementara dengan menyelubungi dirinya dengan
element-nya.”
“Mati sementara?! Untuk apa, dia kan-?”
“Aku sudah pernah bilang,” Demor mendesis. “Untuk
bersembunyi.”
Sennia langsung menutup mulutnya setelah kepintarannya kalah
oleh Demor, “Kita tidak boleh meninggalkan dia di sini. Apalagi...”
“Aku tidak mau membawa seseorang yang cengeng ke kelompok
kita, menghambat saja,” Demor lagi-lagi memotong tajam. “Aku duluan. Yang penting
aku sudah mengatakannya bahwa klan es sudah mati.”
-Defrosted-
Butuh beberapa menit bagi Sennia untuk menenangkan gadis
elemental itu sambil menahan dingin. Jubahnya, jaketnya, bahkan ia salah
menggunakan sepatu. Sebagai tabib muda, dia sudah cukup kebal dingin, sehingga
ia meminjamkan baju hangatnya pada anak-anak yang sakit. Tapi udara di sekitar
turun drastis setelah Demor membuat seorang elemental menangis. Yah, di saat
yang buruk seperti ini, pria bodoh macam apa yang membuat wanita menangis? Di
tengah lautan es seperti ini pula!
“Jangan dengarkan Demor, dia itu sinting,” Sennia berkata
dengan sedikit berbisik. “Dia selalu saja dingin pada semua orang!”
“Tapi seekor Demon memang selalu menyeret hati manusia pada
kegelap... tadi kamu bilang apa?” tanya gadis itu, lirih. “Aku...”
Sennia menghela nafas, “Shock membuat kepalamu berpikir
lamban, ya?”
Gadis itu hanya tersenyum paksa, “tidak apa-apa.”
Lalu, diam. Sennia memeluk kedua lututnya, menjaganya supaya
tetap hangat walau... yah, hampir tidak membantu sama sekali. Matahari sudah
hampir terbenam. Udara terasa menipis. Bahkan, asap dari perkemahan sudah mulai
terlihat. Mereka sudah menyalakan api unggun. Demor pasti sedang memotong
daging buruannya – tugas pria di kelompok – dan membakarnya di api.
Sennia lapar, namun ia tidak mau meninggalkan seorang
elemental disini sendirian. Apalagi setelah pembantaian elemental yang terjadi
akhir-akhir ini.
“Aku harus pulang,” gadis itu berdiri. “...sebelum gelap.”
Sennia mau menahannya, namun gadis itu melanjutkan, “Aku
harus memastikannya. Harus.”
“Kau mau pergi kemana?”
Sennia menoleh, diikuti gadis tersebut. Demor berjalan mendekat,
melepaskan jubah berburunya dan memberikannya pada gadis itu. Demor tanpa
sengaja melihat telinga gadis itu, lalu menarik nafas panjang.
Demor menggerakan tangannya dan memberi isyarat mulut dengan
cepat, sampai-sampai Sennia tidak dapat membacanya.
“Ketuamu mengundangku makan malam?” Ulang gadis itu. “Apa
akan merepotkan?”
Sennia menganga, tidak percaya bahwa gadis itu dapat
mengerti. Lalu, Demor mengangguk, dan
memberikan kode melalui gerakan mulutnya lagi. Tenang, namun wajahnya masih
sangat dingin.
“Kalau begitu, tidak apa-apa,” gadis itu mengangguk lemah. “Aku
akan ikut.”
Lalu, gadis itu berjalan terlebih dahulu ke arah perkemahan.
Demor menatap Sennia, lalu tersenyum sombong.
“Kau mau kedinginan di sana?”
Sennia menggerutu, “Dasar kau ini!!”
-Defrosted-
Sennia tidak begitu percaya hal ini. Demor bersikap aneh di
depan gadis itu. Aneh, sangat aneh. Dia seakan tidak peduli namun... yah, entahlah.
Demor tidak pernah bersikap sebodoh itu di depan siapapun. Apalagi wanita yang
baru ditemuinya.
Tidak adil!
Lalu, Sennia memukul dirinya sendiri. Astaga! Kenapa aku berpikir hal itu tidak adil? Apa yang salah
denganku?
“Sennia, kamu sudah ‘mengecek’ hal-hal itu?”
Sennia menoleh, lalu berdiri, “Ketua! Maaf, aku-”
“Demor mengatakan padaku bahwa telinga Crilys membeku,
sehingga tidak dapat mendengar dengan baik,” Ketua kelompok lalu menepuk pundak
Sennia. “Tabib, kuserahkan ini padamu nanti.”
“Nanti?” tanya Sennia. “Tunggu, Paman! Darimana paman tahu
namanya?”
“Ah, Sennia, kamu bergabung baru setengah tahun,” Suara
ketua sedikit melembut. “Kami bersahabat dengan klan es itu sudah cukup lama. Dia
adalah Crilys Aerith Frosta. Aku mengenalnya, bahkan saat dia masih berupa bola
cahaya yang lemah...”
“Jadi hanya aku yang tidak tahu dia?” tanya Sennia.
“Hanya kamu dan Demor,” ketua menegaskan. “Yah, dia sudah
tumbuh sekarang. Beberapa bahkan tidak mengenalinya sampai Crilys berbicara.
Nah, sebelum itu, ada yang mau kamu sampaikan padaku?”
Sennia mengatupkan mulutnya, lalu berbisik pelan, “Demor
bersikap aneh padanya.”
“Ah, itu karena mereka sama.”
Sennia terkejut, “Sama?”
“Kami menemukan Demor tiga tahun yang lalu,” ketua
melanjutkan. “Klan-nya dibantai habis oleh besi bermata merah yang bergerak dengan
tenaga api. Kami menemukannya dalam keadaan babak belur.”
Sennia diam-diam melirik Demor, yang membuka kancing jaketnya
di depan api, memasak daging buruan dan memanaskan air. Dia bahkan tidak
meninggalkan pisaunya di tenda penyimpanan senjata. Alat-alat bertarung dan
berburunya selalu ia bawa kemanapun. Dia menatap api seakan menatap musuh.
“Lalu, setelah bangun, ia berpikir kami adalah penjual
budak, sehingga ia kabur ke kampung halamannya, mendapati segalanya sudah...”
“Aku mengerti,” Sennia memotong, membayangkannya saja sudah
membuatnya merasa kasihan.
“Dia hanya tidak ingin gadis itu merasakan hal yang sama.
Walaupun sikapnya seperti itu, dialah yang paling mengerti semua anggota
kelompok,” Ketua ikut memandangi Demor yang berkerja di depan api.
“Aku tidak tahu...” bisik Sennia. “...Tapi setelah kulihat
lagi, dia berusaha menutupi lukanya dengan wajah dan sikapnya itu...”