Rabu, 25 Juni 2014

Defrosted Chapter 2

Wow, telat banget, ya? Anyway, enjoy the Chapter 2 of Defrosted ~

And I said to myself : WUT?!
Harusnya itu nangis...
Defrosted Chapter 2

Gadis itu berlari mengikuti firasatnya dan sisa ingatannya. Jantungnya tidak dapat berhenti berdetak. ia ketakutan, namun ia tidak ingat kenapa. Air matanya tidak bisa berhenti. Alih-alih kedinginan, ia merasa badannya terbakar – seperti ditusuk besi membara dari belakang berulang kali.

Tiba-tiba, kakinya terperosok sesuatu yang tertimbun salju. Kepalanya membentur sesuatu yang keras di dalam salju, dan setelah itu, rasa sakit itu menghilang. Ia dapat berhenti menangis, tidak merasakan rasa sakit yang membuatnya berlari. Entah mengapa, ia merasa salju ini seakan-akan memeluknya, memberikannya kehangatan dan ketenangan...

Lalu, ia tertawa.


Demor merenyit saat melihat gadis bodoh itu membenamkan wajahnya di dalam salju dengan posisi seperti kue manusia jahe (hanya saja lebih idiot). Dia mendekati tubuh gadis itu, mencoba untuk tidak mengganggunya, apapun yang ia lakukan.

Tertawa setelah terjatuh. Akan masuk akal jika ia mentertawakan dirinya sendiri setelah melukai kepalanya.

“Hei, elemental,” Demor menepuk punggung gadis itu.

Gadis itu terlonjak kaget. Ia berguling menjauh seperti kayu dan tanpa sengaja menabrakan pungggungnya dengan pohon. Dia sempat mengaduh sebelum buru-buru berdiri kaku.

“Kau ini kenapa? Lari setelah melihatku, menangis setelah es-mu dipecahkan, dan sekarang kau menatapku seakan aku ini monster,” Demor menghela nafas. “Jangan bilang aku ini menyeramkan bagimu.”

“Tanganmu kasar...” gadis itu memainkan tangannya. “...kasar seperti kerikil...”

Itu kasar. Apa kau pernah belajar sopan santun?”

“Aku tahu tanganmu kasar,” gadis itu mengangguk. “Siapa kamu?”

Orang yang baru saja kau teriaki sebagai monster lima menit lalu dan hampir kau bunuh dengan sihir es-mu yang tidak normal. Juga orang yang sama dengan yang baru saja kau ejek. Apa itu cukup untuk memperkenalkan diri? Jika tidak, izinkan aku membekukanmu lagi dan mereka ulang adegan tadi.

“Namaku Demor dari Kelompok Pengelana Musim Semi.”

“Kelompok pengelana musim semi? Tapi ini musim dingin,” gadis itu kebingungan. “Ini... salju dimana-mana dan... kalian lupa cara pergi dari sini?”

Demor mengeraskan tangannya, “Itu hanya sekedar nama, dasar bodoh. Bukan berarti kami mengitari dunia untuk musim semi – kami lebih sering menetap dan pindah kalau cuaca buruk, musibah alam, dan buruan langka. Kami melakukan itu untuk bertahan hidup.”

“Tapi klan-ku adalah klan musim dingin. Kami mengelilingi dunia karena kami terbiasa dengan-”

“Kalau begitu, kita berbeda,” potong Demor sebelum ia harus mendengarkan orang lain. “Siapa namamu?”

“...um, Frosta... nama margaku Frosta,” lirih gadis itu, kurang yakin. “Frena? Um...”

Bodoh, Demor mengumpat dalam hati, lalu menyilangkan tangan.

“Kamu kedinginan?” tanya gadis itu.

“Tidak, aku menunggumu menjawab pertanyaanku. Tentu saja aku kedinginan. Aku bukan wanita musim dingin yang melompat kesana kemari  tanpa alas kaki dan baju tipis,”

“Um...” Gadis itu menatap kedua kakinya, malu. “Kamu bisa kembali ke klan milikmu sekarang. Aku akan pulang sendiri.”

“Jangan per-” lalu, Demor berhenti. Astaga. Aku hanya perlu untuk melarangnya kembali ke tempat itu, kenapa sulit sekali?!

“Aku... aku ingat pohon ini. Perkemahan klan-ku dekat,” gadis itu berbalik.

“Tidak ada asap api dari arah sana,” kata Demor.

Gadis itu hanya diam. Pundaknya menegang, dan secara tidak sadar ia memainkan jari-jarinya. Dia menatap Demor, lalu tersenyum dengan paksa. Matanya sudah mulai berkaca-kaca.

“Klan-ku memang tidak menyalakan api unggun walaupun musim dingin,”

“Tapi kalian menggunakannya untuk memasak, bukan? Ayolah. Jangan pura-pura. Kamu sudah tahu semuanya sejak kau bangun dari es itu.”

Tetesan air mengalir di pipi gadis itu, “Tapi...”

“Ingatan keluarga elemental terhubung satu sama lain. Kau melihatnya. Mereka sudah-”

“Itu tidak mungkin!!!” teriak gadis itu. “Itu tidak mungkin terjadi, aku-”

“Aku bicara kenyataan,”  Demor mengulurkan tangannya. “Kami mendengar sekumpulan elemental es diburu beberapa tahun yang lalu. Kamu mungkin satu-satunya yang-”

Gadis itu terduduk, dengan wajah ketakutan.

Lalu, ia menangis.



“Sennia, kau berlebihan,” ucap ketua. “Demor takkan pergi terlalu jauh, kau tak perlu khawatir...”

“Ayolah, aku ini, kan, tabib utama kelompok ini,” Sennia mengambil tombaknya. “Demor pasti terluka di suatu tempat. Dia lamaaa sekali! Aku, kan, jadinya...”

khawatir?” sambung wanita di belakang. “Jadi selama ini...”

“Tidaaak!” Sennia menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Dengan cowok hitam berambut cokelat itu?! Tidak – tidak akan pernaaaah!!”

Hening.

“Aku sungguh-sungguh! Aku lebih suka dia mati daripada hidup!!”

“Kalau begitu, kau tidak perlu keberatan untuk menunggu di sini,”

“Tapi-”

Suara Sennia terpotong karena aura aneh yang ia rasakan. Aura yang menahan nafas dan memaksa berhembus pada saat yang bersamaan. Rasa sakit di dada yang tak dapat dikisahkan. Suara tipis seperti angin namun menyiratkan kekhawatiran. Aura yang membuat Sennia menitikan air mata tanpa sebab...

Tangisan Elemental.

“Sennia?”

Sennia menghapus air matanya, “Aku harus mengecek sesuatu.

1 komentar:

  1. It's so d*mn cool...!!!
    Ceritanya penuh misteri. Gaya penceritaannya bagus, diksinya juga bagus.
    Salut...!!! ^_^

    Hanya saja...

    Ehm...

    Aku ga tahu apa arti merenyit...
    dan kata "berulang kali" itu sebaiknya "berulang-ulang" ATAU "berkali-kali". Itu yang baku dari penggunaan kata pengulangan.

    But... definitely waiting for next chapter... XD (ricuh)

    BalasHapus