Jumat, 29 Agustus 2014

FantasTeen...? [Penjelasan Jenis Novel Berdasarkan Jumlah Kata]

Beberapa bulan yang lalu, aku bertanya-tanya : FantasTeen itu apa, sih?

Guru Bahasa Indonesia di SMP-ku - beliau dipanggil Pak Sigit - mengatakan kalau buku dibawah 100 halaman itu novel pendek, karena terlalu pendek kalau disebut novel, terlalu panjang kalau disebut cerpen. Hal ini membuatku bertanya-tanya...

Selama ini aku berusaha nulis apaan?

Lalu, sekarang pertanyaan ini terjawab sudah. Aku menemukan posting (bahasa inggris, sih) tentang jenis tulisan berdasarkan jumlah kata dalam kisahnya. Wow. Ini belum juga menjawab pertanyaan tadi yang baru saja kukatakan...

NB :
Keterangan naskah FantasTeen : Spasi 1,5 -_-

Nomor |  Nama Buku             | Jumlah Kata           |   Perkiraan
1.          Short-short story         500 - 2500                 2-10 halaman
2.          Short Story                 2500-5000                 10-20 halaman
3.          Novelit                        7.000-25.000             28-100 halaman
4.          Novella                       17.500 - 40.000         70-160 halaman
5.          Novel cover kertas     35.000 - 80.000         140-320 halaman
6.          Novel Hardcover        25.000 - 150.000       100-600 halaman
7.          Humor Feature            300- 800                    2-4 halaman
8.          Op-Ed (Hah?)             500-1000                   2-5 halaman
9.          Review Buku               400-1000                   2-5 halaman
10.        Cerpen Majalah           800-3000                   4-12 halaman
11.        Artikel Majalah            2000-5000                 8-20 halaman
12.        Buku Nonfiksi              20.000-200.000         80-800 halaman
13.        Buku Resep (wow)      10.000-200.000         40-800 halaman
14.        Buku Young Adult       15.000- 80.000          60-320 halaman
15.        Puisi                            2-100 baris                 1-3 halaman


Jadi... FantasTeen, kalian termasuk apaan?

Lupakan. Aku hanya men-share saja

Selasa, 19 Agustus 2014

"Kamu pernah gila?" - Journal

Untuk kesekian kalinya, aku berharap aku enggak antisosial.

Maksudku, sungguh, hidupku kurang sreg kalau dengan orang-orang yang... *ahem* aneh. Aku tidak mengerti, apa aku ini tidak bisa berbaur atau memang aku tidak bisa berbicara dengan baik. Padahal sudah kelas sepuluh. Aneh... sungguh aneh.

Kejadian ini, maksudku, kejadian KONYOL dan BODOH ini terjadi setelah 17 agusutusan, tepatnya tanggal 18 kemarin saat lomba-lomba dimulai.

Pertama, aku datang jam 7.15 (untuk ukuran sekolah yang masuk 7.30, itu wajar, sih) dan buru-buru masuk ke kelas, sempet kepeleset di lorong tapi untungnya yang lain lagi siap-siap. (Petugas upacara yang baik...) Teman-temanku yang cewek, sisanya di kelas sebelah, ngegosip soal kakak kelas. Nah, aku gak tau soal kakak kelas yang mana mereka maksud.

Boro-boro, nama temen sekelas aja belum hafal! (Waduh, Al, udah 3 bulan, loh! Dasar Roh!)

Okelah, kita kesampingkan hal itu. Gak penting. Aku lalu duduk di pojok dekat tong sampah. Entahlah, aku nyaman di sana. Jangan dibayangin loh ya. Tong sampah di kelasku agak elit, kok. Gak kayak bak pasar induk. (Sejak kapan aku sekolah di pasar?) Aku mendengarkan kalimat mereka, setengah tidak kumengerti seakan hal yang dibicarakan mereka adalah hal-hal menyangkut kealienan. Sampai salah satu dari mereka berkata menyangkut 18 agustus-an...

"Baju gantinya warna apa?"

Responku langsung satu, "Emangnya kita harus bawa baju ganti?"

Teman-temanku cukup baik untuk mengatakan bahwa kita akan basah-basahan. No way. Bro. Seriously. Lebih parahnya lagi adalah...

"Nanti kita main di lapangan juga,"

GOD.

I. HATE. COURT. PLAY (bener gak sih?)

Kenapa gak ada yang ngasih tahu aku, sih?!

Mereka bilang dengan enteng bahwa itu semua karena aku gak punya apa-itu-yang-mereka-sebut L*NE (sensor biar gereget). Boro-boro, sih. Hape aja belum punya...

Nah, pokoknya, setelah itu, upacara, dan gak ada hal spesial...

Lombanya, nih, yang bikin aku malu banget, tapi konyol.


Intinya, sih, di lomba ini, dikelompokin dan disuruh nyusun puzzle 500 keping. 50x36 cm dan emang GAK ada yang selesai. Sumpah. Gak ada. Rata-rata cuma 1/4 bagian, dan beberapa kurang dari itu. Tapi guru-guru ada yang menawarkan untuk melanjutkan puzzle itu.

Aku langsung angkat tangan.

Kakak kelas di kelompokku langsung salut.

Sebenarnya aku punya 5 alasan kenapa aku memilih berada di kelas dan melanjutkan puzzle yang teman-temanku bilang "terkutuk" itu.

1. Aku benci permainan lapangan
2. Gak bawa baju ganti
3. Aku suka permainan otak
4. Belum puas dengan hasilnya
5. Kalau ada pilihan antara menyiksa otak dengan puzzle gila ini atau menyiksa diri sendiri mencoba mengingat teman-temanku di kelompok dan diabaikan... aku memilih pilihan pertama.

Serius. Aku bahkan gak inget siapa aja teman sekelompokku 5 menit setelah mencoba menyusun puzzle itu. Selain cowok sekelas yang duduknya dua kursi dariku dan wajah kakak kelas laki-laki yang gelap dan khas itu. Aku bakal lupa wajahku sendiri kalau gak ada cermin, jadi hal itu normal. Aduh, nama asliku siapa? Siapa aku? Dimana ini? (gak segitunya kali -_-)

Aku pernah manggil temen sekelas sendiri dengan sebutan 'Kakak' saking pelupanya diriku. Padahal duduknya pas di belakang aku. True story yang memalukan diriku sendiri, tapi itu diceritakan nanti lain kali.

Kembali ke puzzle...

Banyak kejadian konyol yang terjadi saat menyusun puzzle itu. Termasuk yang di judul, itu paling kocak, aku masih terkekeh saat berusaha menceritakan kejadian itu. Lagi.


1. Teman-temanku yang masuk-keluar kelas (ngambil minum atau naro baju) jadi lebih peduli padaku. 

Yah, wroth it.

Friends : 'Kenapa gak keluar?'
Me : '(nunjuk puzzle) belum kelar'
Friends : 'Niat amat' atau 'Gila' atau 'Padahal seru, loh, di luar' (lalu ambil minum/naro baju dan matiin/nyalain lampu, keluar kelas)
Me : (kadang) 'Gak suka permainan lapangan. Mending di sini'

Yaudah. Gitu doang, tapi serasa artis.

_________________________________________________

2. Gak sadar waktu (heran, kenapa aku begitu anteng di depan puzzle?)

Temen (sekelompok) : Belum selesai juga?
Me : Belum (masih 30 persen, mungkin kurang dari itu)
Tem (sek) : Udah istirahat, gak makan dulu?
Me : Nunggu istirahat makan siang aja...
[Hening, lalu aku liat jam]
Me : (Ke kantin dulu... cabut)
_________________________________________________

3. "Pernah gila?"

[Temen-temen ricuh di kelas, semuanya cowok dan aku sendiri cewek]

Temen A : Kamu niat banget
Me : Bantuin kalau mau, jangan ribut! Susunin langitnya, lah (note : emang bagian biru doang yang memusingkan) aku gak suka bagian itu.

[Temen A dan B langsung turun tangan, lalu kerja bentar]

Temen A : Kamu nyusun ini gak bosen gitu?
Me : Seru, malah.
Temen B : [ngasihin potongan puzzle]
Me : Makasih, (pasang) kalian ngebantu banget.
Temen A : Apanya, sih, yang seru dari ini? Aku udah puyeng ngeliatnya juga.
Me : (suaraku ilang atau apalah, aku gak tau )Ah, itu, seru aja gitu, nyusun ginian sambil (aku juga lupa aku ngomong apa)
Temen A : (bingung) Ngomong ke siapa?
Me : (niat bercanda) Hahaha... aku sering ngomong sendiri kalau udah mulai gila, tenang aja. Udah biasa.
Temen A : (Kaget, lalu dengan heran bertanya padaku) Kamu pernah gila?
Me : (Dengan spontan bego langsung menjawab) Pernah.

[Temen A dan B langsung cabut ke lapangan padahal game-nya dimulai sekitar 10-15 menit lagi]

True story, dan ini alasan kenapa aku takut ngomong sama orang. Ini juga alasan kedua aku merasa forever alone. Alasan kedua juga aku takut ketemu sama penulis FantasTeen. That will be awkward. I don't have talking skill in real life.

So, don't bother trying to find me, even I said 'Anak Lembang'. I can write for you for tips but I can't talk to you...
_____________________________________________________

4. Temenku ikut gila
[Hening, aku terlalu fokus ke puzzle, sebelum/sesudah kejadian nomor 3]
Temen XYZ : Oh?! Ada Alia?! Gila, aku habis ganti celana di sini!
Me : (terlalu kaget untuk ngerespon, temen aku yang itu cowok -_-)

Bonus : (Ngapain juga kamu ganti di kelas?!)

Serasa Kuroko dari Kuroko no Basuke, gitu, tapi dalam skenario paling ancur.
_____________________________________________________

5. Semakin gila karena kejadian 4 terulang lagi dengan skenario lebih ancur.

[40 persen selesai, lagi nyari kepingan pantulan air di danau. Dapet feel-nya, serasa master of puzzle gitu sampai...]

Temen XYZ : (basah, habis main air) Al! Ganti di sini, ya! Jangan liat!
Me : (Konsentrasi buyar) (Facepalm)

Ini pertama kalinya aku sekelas sama cowok setelah 3 tahun. Argh. Boys. Really?

____________________________________________________

Oke, hasilnya dari penyusunan itu semua adalah... (jengjengjeng)

In the end, dari jam 9 sampai jam 2.30-an, puzzle itu hanya terususun sekitar 250 keping dan aku tidak berhasil. Saudara, aku tidak berhasil. Padahal udah dibantuin.

Tapi aku dipuji karena niat dan aku punya cerita yang konyol untuk kalian.

Yah, saatnya pergi. *Rides Naga Indosiar* *Sampai jumpa, saudara!*

Sabtu, 16 Agustus 2014

My Story... Contains Yaoi?!! DAMMIT!!!

Oke, 1 minggu sebelum aku akan mengirim naskahku. Sekarang aku baru sadar bahwa ada hal bodoh di dalam novelku yang tidak sengaja kumasukan.

Yaoi.

Kalau kalian tidak tahu apa itu Yaoi, jangan search di internet atau kalian bakal menyesal.

Yang tau, sudahlah. Nge-ship jangan berlebihan.


Jadi, ceritanya begini :

Aku membuat karakter pria berambut hitam yang manis dan memiliki masa lalu yang gelap. Penyihir yang memegang satu kutukan yang membuatnya membunuh setiap penyihir yang ia sentuh. Lalu nanti akan bertemu dengan wanita nonsihir... pemburu penyihir berbahaya yang cantik. Pengguna pistol besi, dan dia waktu melihat si karakter pria, dia percaya bahwa pria itu sedang mencari penawar kutukan (bener sih) dan akhirnya membantu. Di akhir cerita, mereka memang berpisah dengan perasaan aneh mengganjal di pikiran mereka.

Aku berpikir lagi. Ini FantasTeen. Terlalu banyak romance, dan aku mual sendiri. Gak. Myrlina Sharon Shooterstars diubah menjadi cowok. Cowok brutal *masih* pemburu penyihir berbahaya dengan alasan berbeda.

Niatnya sih, bromance. Friendship gitu.

Tapi si karakter transgender ini (namanya Shara - diambil dari nama tengah karakter yang gak jadi) emang keliatannya agak... over protektif. Dia juga agak sembrono. Kelihatannya jadi agak...

TIDAAAK!!! *Mati*

Tapi lupakan. Jangan ada satupun dari kalian menganggap Shara adalah karakter cewek atau bahkan Yaoi. Kecuali aku memang harus membantai kalian satu per satu.

Just Sayin' XD

Minggu, 03 Agustus 2014

Defrosted Chapter 3

Gila, file ilang, mudik 5 hari, argh, pokoknya susah, deh! Gak sempet bikin ilustrasinya (jadi menyusul) tapi silahkan enjoy chapter 3!


Defrosted Chapter 3 : Apa yang Terjadi pada Klan Musim Dingin?

Sennia berlari mengikuti aura aneh yang menariknya. Dia lupa membawa jubahnya, lupa menggunakan sepatu salju, dan dia juga lupa membawa lentera. Berkali-kali, ia terperosok salju, menjatuhkan benda bersinar dari sakunya tanpa sengaja.

Dia akhirnya menemukan Demor, berdiri di depan gadis es yang menangis keras. Dia bahkan tidak mau repot untuk sekedar menenangkan gadis itu. Hanya berdiri dengan wajahnya yang (menurut Sennia) dingin itu!

“Demoooor!! Kau bodoh atau apa?!!” teriak Sennia, mendorong keras punggung Demor. “Kamu apain dia?!”

Demor menarik nafas panjang, “Memberitahunya kenyataan. Dia dari klan musim dingin yang Ketua bicarakan beberapa musim lalu. Belasan elemental es yang diculik dari perkemahannya? Kau ingat?”

Sennia tentu saja mengingatnya. Beberapa musim lalu, tepatnya musim gugur tahun lalu dimana elemental es baru saja bersiap mendapatkan kekuatannya kembali, makhluk berderak yang memiliki mata merah menyala menangkap mereka hidup-hidup. Entah kemana. Puluhan klan elemental diculik dengan cara yang sama.

Hanya tersisa beberapa klan elemental, dan mereka berkumpul di tempat yang jauh untuk balas dendam. Gossip mengatakan balas dendam, namun sepertinya kata paling tepat adalah bersembunyi dan bertahan hidup. Mereka sudah seakan punah. Atau mereka sudah menyatu dengan kelompok pengelana dan klan lain?

Sennia tidak tahu. Sennia seharusnya tahu, tapi dia masih terlalu muda untuk terlibat urusan Elemental sungguhan. Ayahnya pergi dan menitipkannya pada klan pengelana musim semi. Lalu, menghilang dalam urusan Elemental.

Gadis ini mungkin memang elemental. Auranya yang terasa berbeda, suara tangisannya yang menggetarkan udara, dan rambutnya yang berwarna abnormal itu menunjukkan bahwa dia seorang elemental. Tapi klan itu? Klan itu tidak tersisa sama sekali! Jika gadis itu tahu, mungkin dia akan mengamuk...

Sennia berusaha menggilangkan bayangan kematian dari kepala gadis itu, “Mungkin enggak, kan?! Ada puluhan klan musim dingin di daerah pegunungan seperti ini!”

“Hanya satu klan elemental es yang ada di dunia,” nada Demor masih datar. “Kau pernah tahu kalau elemental membuat dirinya mati sementara dengan menyelubungi dirinya dengan element-nya.”

“Mati sementara?! Untuk apa, dia kan-?”

“Aku sudah pernah bilang,” Demor mendesis. “Untuk bersembunyi.”

Sennia langsung menutup mulutnya setelah kepintarannya kalah oleh Demor, “Kita tidak boleh meninggalkan dia di sini. Apalagi...”

“Aku tidak mau membawa seseorang yang cengeng ke kelompok kita, menghambat saja,” Demor lagi-lagi memotong tajam. “Aku duluan. Yang penting aku sudah mengatakannya bahwa klan es sudah mati.”

-Defrosted-

Butuh beberapa menit bagi Sennia untuk menenangkan gadis elemental itu sambil menahan dingin. Jubahnya, jaketnya, bahkan ia salah menggunakan sepatu. Sebagai tabib muda, dia sudah cukup kebal dingin, sehingga ia meminjamkan baju hangatnya pada anak-anak yang sakit. Tapi udara di sekitar turun drastis setelah Demor membuat seorang elemental menangis. Yah, di saat yang buruk seperti ini, pria bodoh macam apa yang membuat wanita menangis? Di tengah lautan es seperti ini pula!

“Jangan dengarkan Demor, dia itu sinting,” Sennia berkata dengan sedikit berbisik. “Dia selalu saja dingin pada semua orang!”

“Tapi seekor Demon memang selalu menyeret hati manusia pada kegelap... tadi kamu bilang apa?” tanya gadis itu, lirih. “Aku...”

Sennia menghela nafas, “Shock membuat kepalamu berpikir lamban, ya?”

Gadis itu hanya tersenyum paksa, “tidak apa-apa.”

Lalu, diam. Sennia memeluk kedua lututnya, menjaganya supaya tetap hangat walau... yah, hampir tidak membantu sama sekali. Matahari sudah hampir terbenam. Udara terasa menipis. Bahkan, asap dari perkemahan sudah mulai terlihat. Mereka sudah menyalakan api unggun. Demor pasti sedang memotong daging buruannya – tugas pria di kelompok – dan membakarnya di api.

Sennia lapar, namun ia tidak mau meninggalkan seorang elemental disini sendirian. Apalagi setelah pembantaian elemental yang terjadi akhir-akhir ini.

“Aku harus pulang,” gadis itu berdiri. “...sebelum gelap.”

Sennia mau menahannya, namun gadis itu melanjutkan, “Aku harus memastikannya. Harus.

“Kau mau pergi kemana?”

Sennia menoleh, diikuti gadis tersebut. Demor berjalan mendekat, melepaskan jubah berburunya dan memberikannya pada gadis itu. Demor tanpa sengaja melihat telinga gadis itu, lalu menarik nafas panjang.

Demor menggerakan tangannya dan memberi isyarat mulut dengan cepat, sampai-sampai Sennia tidak dapat membacanya.

“Ketuamu mengundangku makan malam?” Ulang gadis itu. “Apa akan merepotkan?”

Sennia menganga, tidak percaya bahwa gadis itu dapat mengerti.  Lalu, Demor mengangguk, dan memberikan kode melalui gerakan mulutnya lagi. Tenang, namun wajahnya masih sangat dingin.

“Kalau begitu, tidak apa-apa,” gadis itu mengangguk lemah. “Aku akan ikut.”

Lalu, gadis itu berjalan terlebih dahulu ke arah perkemahan. Demor menatap Sennia, lalu tersenyum sombong.

“Kau mau kedinginan di sana?”

Sennia menggerutu, “Dasar kau ini!!”

-Defrosted-

Sennia tidak begitu percaya hal ini. Demor bersikap aneh di depan gadis itu. Aneh, sangat aneh. Dia seakan tidak peduli namun... yah, entahlah. Demor tidak pernah bersikap sebodoh itu di depan siapapun. Apalagi wanita yang baru ditemuinya.

Tidak adil!

Lalu, Sennia memukul dirinya sendiri. Astaga! Kenapa aku berpikir hal itu tidak adil? Apa yang salah denganku?

“Sennia, kamu sudah ‘mengecek’ hal-hal itu?”

Sennia menoleh, lalu berdiri, “Ketua! Maaf, aku-”

“Demor mengatakan padaku bahwa telinga Crilys membeku, sehingga tidak dapat mendengar dengan baik,” Ketua kelompok lalu menepuk pundak Sennia. “Tabib, kuserahkan ini padamu nanti.”

“Nanti?” tanya Sennia. “Tunggu, Paman! Darimana paman tahu namanya?”

“Ah, Sennia, kamu bergabung baru setengah tahun,” Suara ketua sedikit melembut. “Kami bersahabat dengan klan es itu sudah cukup lama. Dia adalah Crilys Aerith Frosta. Aku mengenalnya, bahkan saat dia masih berupa bola cahaya yang lemah...”

“Jadi hanya aku yang tidak tahu dia?” tanya Sennia.

“Hanya kamu dan Demor,” ketua menegaskan. “Yah, dia sudah tumbuh sekarang. Beberapa bahkan tidak mengenalinya sampai Crilys berbicara. Nah, sebelum itu, ada yang mau kamu sampaikan padaku?”

Sennia mengatupkan mulutnya, lalu berbisik pelan, “Demor bersikap aneh padanya.”

“Ah, itu karena mereka sama.”

Sennia terkejut, “Sama?”

“Kami menemukan Demor tiga tahun yang lalu,” ketua melanjutkan. “Klan-nya dibantai habis oleh besi bermata merah yang bergerak dengan tenaga api. Kami menemukannya dalam keadaan babak belur.”

Sennia diam-diam melirik Demor, yang membuka kancing jaketnya di depan api, memasak daging buruan dan memanaskan air. Dia bahkan tidak meninggalkan pisaunya di tenda penyimpanan senjata. Alat-alat bertarung dan berburunya selalu ia bawa kemanapun. Dia menatap api seakan menatap musuh.

“Lalu, setelah bangun, ia berpikir kami adalah penjual budak, sehingga ia kabur ke kampung halamannya, mendapati segalanya sudah...”

“Aku mengerti,” Sennia memotong, membayangkannya saja sudah membuatnya merasa kasihan.

“Dia hanya tidak ingin gadis itu merasakan hal yang sama. Walaupun sikapnya seperti itu, dialah yang paling mengerti semua anggota kelompok,” Ketua ikut memandangi Demor yang berkerja di depan api.


“Aku tidak tahu...” bisik Sennia. “...Tapi setelah kulihat lagi, dia berusaha menutupi lukanya dengan wajah dan sikapnya itu...”