Gak ada angin, gak ada ujan, eh tiba-tiba perkejaanku berkurang satu.
Tiba-tiba saja, Wheza bilang kalau dia nemu First Reader.
Entah mau gimana bilangnya. Rasanya agak... gimana gitu. Antara seneng dia bisa nemu Reader yang enggak terlalu kritis kayak Iruhan, juga sedih enggak bisa ngasih masukan lagi sebelum novel dia terbit.
Bagus, sih, aku turut senang dia menemukan First Reader yang bukan Iruhan. *cough*
Maaf Iru-kun. Aku jujur. *cough*
Iru udah selevel boncabe level neraka. Kritik pedesnya cukup untuk mem-bombardir satu fandom. Cukup untuk membuat buku rating biasa di FantasTeen jeblok. Percayalah, novelku pernah gak maju sebulan karena dia, saking parahnya critical comment dari dia.
Sebagai pembaca yang mengamati perkembangan penulis, Wheza adalah salah satu yang paling aku perhatikan. (Posisi pertama di atas Tessia dan Akbar) Cara menulisnya masih menggunakan imajinasi, jadi kalau dia diberi FR yang sama denganku, yang punya masalah 'rasa takut', dia malah akan terkekang.
*tepok pundak Wheza* Aku ngerti kok. Tenang aja. Keputusanmu sudah tepat.
...dan buat Iru! *gampar pundak* *pukul wajah* YOU KNOW YOUR PROBLEM, SON.
***
Ahem. Lalu, ada lagi, aku. Support yang kubutuhkan saat menulis berbeda jauh dengan kedua Writing-Pals ini.
Wheza, seperti yang ku-mention di atas, membutuhkan freedom menulis dan menggila dengan dunianya...
Sementara itu, Iruhan...yang butuh perencanaan matang, dan support dari Tropes dan kawan-kawannya untuk membuatnya waras, juga dosis dari Rant buku FantasTeen, plus FikFanIndo, plus- *slaps*
Aku adalah penderita rasa takut berlebih. Meskipun mulutku terus berkata, "Ah, cuma ditolak dua kali". Namun tetap saja, setiap kali aku mencoba menulis lagi, aku merasa takut hal sama akan terulang. Ada istilah "Kamu tidak bisa membohongi dirimu sendiri", dan itu memang benar. Berkali-kali aku bilang, 'tidak apa-apa', namun tanganku dan kepalaku sadar bahwa aku sedang berbohong.
Jujur, aku bahkan pernah berkata "Aku berhenti. Aku tidak bisa."
Tambahannya, sih, emang terlalu positif, "
Baik, mungkin aku tidak bisa. Tapi aku tahu aku pernah menulis. Aku tahu hal yang membuatku gagal dan apa yang penulis lain harus perbaiki. Aku akan melanjutkan Tulisan Imajinasi. Toh, kalau aku bukan penulis, tidak berbakat, aku akan membantu penulis masa depan begitu."
Sampai aku bertemu dengan penulis yang iseng komentar di blog super-gaje ini.
Dia orang pertama yang membuatku mulai menulis lagi. Orang pertama yang membuatku mulai menulis kembali, orang yang membuatku semangat menulis kembali, dan akhirnya, saat naskahku selesai, muncul masalah baru.
Aku betul-betul takut ditolak. Lagi.
Aku berani sumpah aku cuma nulis 3 sampai 5 chapter setelah selesainya novelku. Ada 13 cerita yang tak terselesaikan. Ada kisah yang absurd abis (Java Underground, contohnya, berpetualang dengan Sangkuriang dan Nyi Roro Kidul. Astaga) sampai yang epic (Illeriane Stories), juga yang worldbuilding-nya terencana (Stole Your Friends, judulnya astaga abis). Tapi aku enggak berani.
Then, there is him.
Seorang teman dengan pengetahuan menulis yang luar biasa, yang berhasil mengoreksi kesalahanku, dan membuatku lebih percaya diri mengirim naskah. Dia memberiku banyak masukan, cara dan teknik dalam menciptakan intrinsik cerita yang kompleks, dan juga, yang terpenting, mengurangi rasa takutku.
***
Kalian tidak butuh semua bantuan yang ada.
Kadang, First Reader yang kamu dapatkan hanya akan menyeretmu, menahanmu untuk menulis lebih lanjut.
So, yep. Dah. Sampai nanti kawan. Curcol? BIARIN. YANG PENTING MINTZZZZ.