Rabu, 21 Mei 2014

Rohaluss Story : Defrosted Chapter 1 | Opening

Inspired from :
Fantasteen : Absolute Zero by Fauzi (Thank you!)
The Book of Black Spell by Monica (Hi, new author! Welcome to writing world, eh?)
Final Fantasy (Square Enix Game)
+ Those absurd games I have played lately

Story By : AliaRohaluss~
Genere : Hard Fantasy

Tabokan penulis sebelum mulai : Thanks to all my readers, I’ve finally finish my novel! XD Belum berani ngirim ke FantasTeen, sih. Aku masih mikir, resikonya terlalu besar untuk menulis novel dua buku... *sigh*

Sebagai perayaan, aku dengan bangga mempersembahkan : Defrosted Novel-Comic atau Light Novel, (terserah kalian mau nyebut cerita banyak ilustrasi dengan apa...) Kurang lebih 5 chapter. Ilustrasi di chapter berikutnya. Bakal rada ngawur gara-gara masih latihan menggunakan digital art tools.

Ahem. Semoga itu novel keterima, yah! (Amin...)



Defrosted Chapter 1

“Kamu menemukan gadis ini dalam kondisi seperti... em... ini?”

Lelaki berambut coklat itu mengangguk tegas. Dia tahu dia seharusnya tidak membawa bongkahan es berisi manusia itu pulang ke perkemahan, tapi sudah terlambat untuk menyadari kesalahannya sekarang. Mungkin para tertua klan akan bertanya lebih banyak, dan itu bisa memakan waktu lama.

Cerewet. Pikirnya. Lagipula dia sudah mati. Tidak ada waktu untuk mengurus mayat di musim dingin membekukan ini.

Tertua klan berjanggut putih itu menarik nafas panjang, “Kita harus mencairkannya, Demor. Roh manusia ini akan terus mengganggu tempat ini sampai tubuhnya diperlakukan dengan layak.”

“Dengan senang hati,” Demor, lelaki itu, berdiri dan beranjak pergi dari tempat itu. Aku tidak punya waktu untuk ini. Roh manusia apanya?


Banyak orang mengelilingi bongkahan es raksasa yang diletakan agak jauh dari perkemahan. Samar, memang, tapi di dalamnya benar-benar ada sebuah tubuh dengan baju pendek berwarna putih. Dari sisi manapun, baik gadis tersebut ataupun es yang membekukannya terlihat abnormal. Auranya seperti bukan es. Saat disentuh tidak dingin, melainkan seperti menyentuh batu licin.

“Ini bukan es,” kata salah satu wanita di sana.

“Jika ini bukan es, apa lagi?” timpal seorang pria. “Wajar saja kalau ada yang membeku di danau itu lagi. Ini sudah yang keempat kalinya dalam musim dingin panjang.”

“Minggir,” Demor mendorong pundak beberapa orang di depannya. “Es atau bukan, itu tidak penting.”

Demor mengeluarkan sebilah pisau pendek yang selalu ia gunakan saat berburu. Terbuat dari batu hitam yang mengilap, bentuknya sedikit terlihat kasar. Dia menaruh ujungnya di depan es tersebut, siap untuk menghancurkan benda apapun yang berani menyita waktunya.

Demor, jangan lakukan itu!!

Demor menoleh ke arah sumber suara. Seorang gadis berambut hitam dengan kalung besar menggantung di lehernya terengah setelah berlari cepat. Dia Sennia, tabib sekaligus peramal dalam perkemahan – atau orang-orang berkata begitu – yang masih belajar. Bahkan dalam musim dingin seganas ini, dia masih menggunakan baju musim gugur dengan banyak benda mistis menghiasi pakaiannya.

“Roh manusia bisa hancur jika kamu tidak hati-hati dalam mengurus tubuhnya! Seharusnya kamu-”

“Cerewet,” desis Demor. “Apa aku kelihatan peduli tentang roh manusia dan kehidupan setelah kematian?!”

Sennia menggumam, “Ya... kupikir kamu memang tidak peduli, sih. Tapi...”

Tanpa menghiraukan penjelasan Sennia, Demor langsung menusukan pisaunya pada es tersebut. Anehnya, pisau kokoh miliknya hanya berhasil membuat tusukan kecil, hampir tidak membuat sedikitpun retakan.

Seakan ada sesuatu yang melindungi es itu.

Demor merasakan hal ganjil yang membuatnya mundur. Sebuah perlindungan. Ya... aura tabir pelindung yang lemah. Sejenis... sihir. Mungkin bukan sihir. Tidak ada bekas penyihir yang melakukannya. Seperti sihir murni. Sihir yang tidak terjamah oleh kemampuan manusia, membekukan gadis itu.

Sennia menjitak kepala Demor, “Kau ini mau mengutuk kelompok pengelana ini, ya?!! Kubilang jangan, ya jangan!! Dasar cowok tak berperasaan!”

“Jaga ucapanmu, Sen-”

Klik.

...es itu retak.

“Astaga, Demooor!! Apa yang kau lakukan?!!” teriak Sennia. “Kau menghancurkan masa depan kita semua! Aaah!!!”

Tapi aku tidak melakukan apa-apa... Demor menutup telinganya, mencoba menjaga telinganya sebelum teriakan tak waras itu memenuhi otaknya. Matanya menatap gadis di dalam es. Sesuatu membuatnya merasa tidak enak... Terkurung di dalam es, tapi terasa hidup... apa hanya perasaannya saja, bahwa dia melihat gadis itu bergerak?

Itu tidak mungkin. Manusia macam apa yang masih hidup di dalam es? Secara logika, mereka takkan bisa bernafas tanpa udara. Dan dilihat dari pakaiannya, mungkin dia membeku saat musim panas...

Saat musim panas?

“Demor, kau harus bertanggung jawab!! Sekarang juga!!” Sennia mengguncang-guncangkan tubuh Demor. “Kau gila! Rohnya sedang marah! Kita akan mati dikutuk roh manusia yang menuntut balas dendam!! Aaaah!!!”

Matanya terbuka. Mata gadis itu terbuka, menatap Demor, lemah.

“Kau yang gila, Sennia! Orang itu masih hidup!” Demor mendorong tubuh Sennia menjauh. “Minggir!”

“Demo-”


-    Defrosted    -


Pisau itu belum menyentuh es. Sedikitpun tidak. Sennia melihat Demor baru saja memposisikan pisaunya di belakang kepalanya. Masih dalam posisi itu, tapi tiba-tiba saja, es itu hancur.

Pecahan es berserakan di mana-mana, memantulkan cahaya-cahaya terkecil dari lentera api dan sinar matahari yang menembus awan tebal. Demor membatu di tempat. Hampir saja beberapa dari pecahan es tajam mengenainya.

“Whoa, tadi itu berbahaya sekali,” sembur Sennia. “Tapi kamu benar, Demor. Gadis itu masih bernafas.”

“...Hei, apa kau baik-baik saja, Nona Es?” tanya Demor, dingin.

Tangan Sennia menimpuk kepala Demor, “Bisakah kau sedikit lebih sopan?!”

Gadis berambut biru itu menatap langit. Atau sesuatu yang lain. Tatapannya kosong. Nafasnya memburu.

Lari.

...kamu harus pergi-

Temukan element- .... –lainnya.

...menolongmu.

Gadis itu berteriak. Menangis. Dengan suara yang mampu menggetarkan badai salju dan menyayat hati...

Dia sendiri tidak tahu mengapa dadanya terasa berat.

Dia merasa hampa.

Sendirian.

Demor berlutut, berusaha menenangkannya, “Nona...”

Pecahan es melesat dan menggores pelipis Demor, “Pergi!!

Gadis itu berdiri, gemetar, melangkah mundur menjauhi Demor, “Demon!

Demon?”  Sennia merenyitkan dahi. “Demor, Itu nama aslimu?”

“Kau pikir aku ini apa?!” Demor berdiri, mencoba mendekat, “Dengar, Elemental, namaku bukan-”

Lagi-lagi, suara di kepala gadis itu terdengar lagi.

Lari.

Gadis itu membuat tembok es transparan yang membatasi dia dan kelompok pengelana tersebut, dan berlari sekuat-kuatnya. Demor hanya menatap punggung gadis itu yang berlari ke dalam hutan. Mengarah ke danau.

Sialan. Dia tidak boleh kembali ke tempatnya!” Demor mengambil lenteranya. Dengan cepat, dia memutari tembok itu dan berlari menyusul gadis itu.

Dia tidak boleh kembali...


1 komentar: