Inspired from :
Fantasteen : Absolute Zero by
Fauzi (Thank you!)
The Book of Black Spell by Monica
(Hi, new author! Welcome to writing world, eh?)
Final Fantasy (Square Enix Game)
+ Those absurd games I have
played lately
Story By : AliaRohaluss~
Genere : Hard Fantasy
Tabokan penulis sebelum mulai : Thanks
to all my readers, I’ve finally finish my novel! XD Belum berani ngirim ke FantasTeen, sih. Aku masih mikir, resikonya terlalu besar untuk menulis novel dua buku... *sigh*
Sebagai perayaan, aku dengan
bangga mempersembahkan : Defrosted Novel-Comic atau Light Novel, (terserah kalian
mau nyebut cerita banyak ilustrasi dengan apa...) Kurang lebih 5 chapter.
Ilustrasi di chapter berikutnya. Bakal rada ngawur gara-gara masih latihan menggunakan digital art
tools.
Ahem. Semoga itu novel keterima,
yah! (Amin...)
Defrosted
Chapter 1
“Kamu
menemukan gadis ini dalam kondisi seperti... em... ini?”
Lelaki
berambut coklat itu mengangguk tegas. Dia tahu dia seharusnya tidak membawa
bongkahan es berisi manusia itu pulang ke perkemahan, tapi sudah terlambat
untuk menyadari kesalahannya sekarang. Mungkin para tertua klan akan bertanya
lebih banyak, dan itu bisa memakan waktu lama.
Cerewet. Pikirnya. Lagipula dia sudah mati. Tidak ada waktu untuk mengurus mayat di musim
dingin membekukan ini.
Tertua
klan berjanggut putih itu menarik nafas panjang, “Kita harus mencairkannya,
Demor. Roh manusia ini akan terus mengganggu tempat ini sampai tubuhnya
diperlakukan dengan layak.”
“Dengan
senang hati,” Demor, lelaki itu, berdiri dan beranjak pergi dari tempat itu. Aku tidak punya waktu untuk ini. Roh manusia
apanya?
Banyak
orang mengelilingi bongkahan es raksasa yang diletakan agak jauh dari
perkemahan. Samar, memang, tapi di dalamnya benar-benar ada sebuah tubuh dengan
baju pendek berwarna putih. Dari sisi manapun, baik gadis tersebut ataupun es
yang membekukannya terlihat abnormal. Auranya seperti bukan es. Saat disentuh
tidak dingin, melainkan seperti menyentuh batu licin.
“Ini
bukan es,” kata salah satu wanita di sana.
“Jika
ini bukan es, apa lagi?” timpal seorang pria. “Wajar saja kalau ada yang
membeku di danau itu lagi. Ini sudah
yang keempat kalinya dalam musim dingin panjang.”
“Minggir,”
Demor mendorong pundak beberapa orang di depannya. “Es atau bukan, itu tidak
penting.”
Demor
mengeluarkan sebilah pisau pendek yang selalu ia gunakan saat berburu. Terbuat dari
batu hitam yang mengilap, bentuknya sedikit terlihat kasar. Dia menaruh
ujungnya di depan es tersebut, siap untuk menghancurkan benda apapun yang
berani menyita waktunya.
“Demor, jangan lakukan itu!!”
Demor
menoleh ke arah sumber suara. Seorang gadis berambut hitam dengan kalung besar
menggantung di lehernya terengah setelah berlari cepat. Dia Sennia, tabib
sekaligus peramal dalam perkemahan – atau orang-orang berkata begitu – yang
masih belajar. Bahkan dalam musim dingin seganas ini, dia masih menggunakan
baju musim gugur dengan banyak benda mistis menghiasi pakaiannya.
“Roh
manusia bisa hancur jika kamu tidak hati-hati dalam mengurus tubuhnya!
Seharusnya kamu-”
“Cerewet,”
desis Demor. “Apa aku kelihatan peduli tentang roh manusia dan kehidupan
setelah kematian?!”
Sennia
menggumam, “Ya... kupikir kamu memang tidak peduli, sih. Tapi...”
Tanpa
menghiraukan penjelasan Sennia, Demor langsung menusukan pisaunya pada es
tersebut. Anehnya, pisau kokoh miliknya hanya berhasil membuat tusukan kecil,
hampir tidak membuat sedikitpun retakan.
Seakan
ada sesuatu yang melindungi es itu.
Demor
merasakan hal ganjil yang membuatnya mundur. Sebuah perlindungan. Ya... aura
tabir pelindung yang lemah. Sejenis... sihir. Mungkin bukan sihir. Tidak ada
bekas penyihir yang melakukannya. Seperti sihir murni. Sihir yang tidak
terjamah oleh kemampuan manusia, membekukan gadis itu.
Sennia menjitak
kepala Demor, “Kau ini mau mengutuk kelompok pengelana ini, ya?!! Kubilang
jangan, ya jangan!! Dasar cowok tak berperasaan!”
“Jaga
ucapanmu, Sen-”
Klik.
...es
itu retak.
“Astaga,
Demooor!! Apa yang kau lakukan?!!” teriak Sennia. “Kau menghancurkan masa depan
kita semua! Aaah!!!”
Tapi aku tidak melakukan
apa-apa... Demor
menutup telinganya, mencoba menjaga telinganya sebelum teriakan tak waras itu
memenuhi otaknya. Matanya menatap gadis di dalam es. Sesuatu membuatnya merasa
tidak enak... Terkurung di dalam es, tapi terasa hidup... apa hanya perasaannya
saja, bahwa dia melihat gadis itu bergerak?
Itu
tidak mungkin. Manusia macam apa yang masih hidup di dalam es? Secara logika,
mereka takkan bisa bernafas tanpa udara. Dan dilihat dari pakaiannya, mungkin
dia membeku saat musim panas...
Saat
musim panas?
“Demor,
kau harus bertanggung jawab!! Sekarang juga!!” Sennia mengguncang-guncangkan
tubuh Demor. “Kau gila! Rohnya sedang marah! Kita akan mati dikutuk roh manusia
yang menuntut balas dendam!! Aaaah!!!”
Matanya
terbuka. Mata gadis itu terbuka, menatap Demor, lemah.
“Kau
yang gila, Sennia! Orang itu masih hidup!” Demor mendorong tubuh Sennia
menjauh. “Minggir!”
“Demo-”
- Defrosted -
Pisau
itu belum menyentuh es. Sedikitpun tidak. Sennia melihat Demor baru saja memposisikan
pisaunya di belakang kepalanya. Masih dalam posisi itu, tapi tiba-tiba saja, es itu hancur.
Pecahan
es berserakan di mana-mana, memantulkan cahaya-cahaya terkecil dari lentera api
dan sinar matahari yang menembus awan tebal. Demor membatu di tempat. Hampir
saja beberapa dari pecahan es tajam mengenainya.
“Whoa,
tadi itu berbahaya sekali,” sembur Sennia. “Tapi kamu benar, Demor. Gadis itu
masih bernafas.”
“...Hei,
apa kau baik-baik saja, Nona Es?”
tanya Demor, dingin.
Tangan
Sennia menimpuk kepala Demor, “Bisakah kau sedikit lebih sopan?!”
Gadis
berambut biru itu menatap langit. Atau sesuatu yang lain. Tatapannya kosong.
Nafasnya memburu.
Lari.
...kamu harus pergi-
Temukan element- .... –lainnya.
...menolongmu.
Gadis
itu berteriak. Menangis. Dengan suara yang mampu menggetarkan badai salju dan
menyayat hati...
Dia
sendiri tidak tahu mengapa dadanya terasa berat.
Dia
merasa hampa.
Sendirian.
Demor
berlutut, berusaha menenangkannya, “Nona...”
Pecahan
es melesat dan menggores pelipis Demor, “Pergi!!”
Gadis
itu berdiri, gemetar, melangkah mundur menjauhi Demor, “Demon!”
“Demon?”
Sennia merenyitkan dahi. “Demor, Itu nama aslimu?”
“Kau
pikir aku ini apa?!” Demor berdiri, mencoba mendekat, “Dengar, Elemental, namaku bukan-”
Lagi-lagi,
suara di kepala gadis itu terdengar lagi.
Lari.
Gadis
itu membuat tembok es transparan yang membatasi dia dan kelompok pengelana
tersebut, dan berlari sekuat-kuatnya. Demor hanya menatap punggung gadis itu
yang berlari ke dalam hutan. Mengarah ke danau.
“Sialan. Dia tidak boleh kembali ke
tempatnya!” Demor mengambil lenteranya. Dengan cepat, dia memutari tembok itu
dan berlari menyusul gadis itu.
Dia tidak boleh kembali...
Tjiahh, lanjut "kak" :v
BalasHapus